I. Budidaya Ramah Lingkungan Tambak Udang
Dalam usaha budidaya udang, baik tradisional maupun intensif, ada dua kendala utama yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan yaitu : pertama, faktor eksternal seperti fluktuasi kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Pada tambak udang dengan sistim budidaya tradisional, kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima, sedangkan pada budidaya udang secara intensif, fluktuasi kualitas air tambak dapat ditekan dengan memasukan air laut dan air tawar terlebih dahulu kedalam kolam tandon (equalization pond), sehingga setelah kualitas air yang dibutuhkan untuk budidaya udang dicapai, baru disalurkan ketambak yang akan ditanami.
Kedua, faktor internal yang mencakup pengolahan tanah/ sedimen setelah panen, aerasi dan pemberian pakan selama periode pemeliharaan udang. Pengolahan lumpur biasanya dilakukan baik pada budidaya tradisional maupun intensif. Sedangkan perlakuan aerasi lebih banyak dijumpai pada budidaya intensif, terutama untuk memasok kebutuhan oksigen udang. Untuk mencapai produksi yang optimal pada budidaya udang intensif, selain kondisi lingkungan yang baik faktor pemberian pakan sangat menentukan. (1,2,3)
Dengan budidaya udang secara intensif, dimana kepadatan udang per satuan luas meningkat, maka jumlah sisa pakan yang mengendap didasar tambak akan semakin bertambah. Dengan rata-rata konversi pakan sebesar 1,6 maka berarti setiap 1,6 kg pakan yang diberikan kepada udang sebagai ransum, akan dihasilkan 1kg udang dan 0,6 kg atau sekitar 37,5% akan menjadi limbah dan terakumulasi pada dasar tambak.
Akumulasi dari bahan organik tersebut akan menimbulkan kondisi lingkungan anaerob pada bawah substrat dasar tambak, sehingga dengan kondisi tersebut akan terjadi proses dekomposisi anaerob yang dapat menghasilkan senyawa seperti Amonia, phosfat dan sulfida yang bersifat toksik terhadap lingkungan budidaya udang, sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, penyakit dan kematian.
Harga udang di pasar lokal sama sekali tidak menjanjikan. Sekitar dua tahun lalu satu petak tambak seluas 400 meter persegi bisa menghasilkan 70–80 kilogram udang windu. Dengan harga sekitar Rp 85.000 per kilogram untuk udang size-30 ketika itu, satu kali masa panen maksimal empat bulan paling sedikit bisa mendapat hasil kotor antara Rp 5 juta–Rp 6 jutaan. Artinya, dalam sebulan seorang petambak udang skala kecil paling tidak berpenghasilan Rp 1,5 juta.
Serangan penyakit di hampir semua lahan tambak udang di daerah Sumut sejak beberapa tahun belakangan, memang membuat kehidupan para petambak udang daerah ini kian terpuruk. Apalagi modal awal untuk pengolahan tambak sebagian besar petambak rakyat terpaksa "meng-ijon" dulu dengan para tauke. Kalaupun bisa panen, para petambak itu kecil kemungkinan bisa menikmati harga jual yang wajar karena tauke udang yang membeli hasil panen mereka adalah tengkulak pemberi utang pada awal musim tebar.
Nasib ini dialami oleh ribuan petambak udang lainnya di Sumut. Produktivitas tambak udang yang suram dalam beberapa tahun belakangan, telah menyebabkan hampir terkuburnya sektor pertambakan udang di daerah ini. Awan kelabu primadona sektor perikanan tersebut, dipicu oleh serangan penyakit atau virus pada lahan tambak udang rakyat di Sumut. Pada saat bersamaan harga udang di pasar-pasar pun terus anjlok, kalah bersaing dengan harga udang "bule" (udang putih) impor. Dua hal inilah yang dituding sebagai pemicu ambruknya pertambakan udang rakyat di daerah ini.
Bukti lain betapa merananya budidaya tambak Sumut dewasa ini adalah pemandangan areal pertambakan yang dulunya hiruk-pikuk kini justru senyap. Lahan tambak yang ada sekarang, hanya berupa kolam-kolam genangan dan sebagian malah sudah tertutup belukar. Beberapa warga memang masih coba mendatangi tambak, tapi hanya sebatas menangkap sisa-sisa udang yang masih bertahan di situ. Pemandangan menyedihkan ini tampak merata di sentra pertambakan udang di sepanjang pantai timur Sumut mulai dari kawasan Besitang di utara hingga kawasan pantai di Asahan dan Labuhan Batu di selatan.
Serangan penyakit ini malah mendorong para petambak menggunakan antibiotik sebagai salah satu upaya pencegahan. Hanya saja penggunaan berbagai jenis bahan tersebut, ternyata menimbulkan masalah berkelanjutan dan tidak dapat mengatasi serangan penyakit tersebut. Beberapa faktor kemungkinan penyebab serangan penyakit pada udang adalah sistem teknologi budidaya udang selama ini tidak sesuai atau kurang ketelitian dalam pemilihan lokasi, kesalahan konstruksi dan strukturisasi, dan penebaran benih terlalu jauh melampaui kapasitas daya dukung lingkungan.
Masalah serius lainnya yang terkait dengan budidaya tambak adalah, kerusakan lingkungan akibat perkembangan seperti peralihan hutan bakau (mangrove forest) menjadi areal tambak, dan pembuangan limbah yang mengandung sisa komponen organik. Ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dan memberikan efek terhadap seluruh makhluk yang berada di sepanjang kawasan pantai di mana rantai makanan berada. Jika fenomena ini terus berlanjut, masyarakat dan para pembudidaya udang tetap tidak peduli, maka tinggal menunggu waktu hancurnya lingkungan pantai negara kita. Prinsip teknologi budidaya udang ramah lingkungan ini adalah dengan cara penerapan konstruksi tambak secara benar, pengelolaan budi daya udang secara tepat, serta pengendalian lingkungan tambak (water treatment) secara bijaksana. Semua ini menggunakan bahan konstruksi ramah lingkungan, serta penggunaan formulasi bahan pakan alami. Selain juga memelihara zooplankton sebagai pakan alami udang.
II. Gambaran manajemen dan tata lingkungan pertambakan di salah satu wilayah Indonesia
Saat ini pertambakan di wilayah pesisir Padang Cermin Lampung Selatan mengalami penurunan produksi akibat merebaknya berbagai macam penyakit terutama whitespot. Timbulnya berbagai macam penyakit menjadi ancaman yang serius terhadap produksi udang di tambak. Munculnya penyakit diduga akibat kondisi lingkungan yang buruk. Penurunan kondisi lingkungan disebabkan oleh polusi internal dan eksternal. Polusi internal berasal dari limbah budidaya tambak itu sendiri sedangkan polusi eksternal berasal dari limbah industri, kapal dan limbah domestik. Hal ini terjadi karena Teluk Lampung merupakan kawasan yang cukup ramai oleh lalu lintas kapal, dekat industri, padat penduduk dan banyak tempat pariwisata. Oleh sebab itu petambak dituntut mampu menggunakan lahan yang daya dukung secara alaminya kurang baik. Kondisi ini mendapat tekanan juga dengan beralihnya teknologi dari pola intensif ke pola ekstensif.
Hasil pengamatan lapang juga menunjukkan bahwa di daerah Padang Cermin telah terjadi pergeseran spesies budidaya dari udang windu (Penaeus monodon) menjadi udang putih (Litopenaeus vannamei). Hal ini disebabkan tingkat produktivitas udang putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang windu. Berdasarkan uji statistik (Tukey) perbedaan ini nyata pada taraf 0,05 (95%). Uji Tukey juga menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata pada tambak antar lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
III. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan udang dilihat dari pakan yang diberikan
Frekuensi pakan merupakan salah satu bagian dari program pakan yang memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan suatu program pakan pada satu periode budidaya. Frekuensi pakan dapat diartikan sebagai berapa kali suatu kegiatan pemberian pakan diberikan dalam satu hari.
Frekuensi pakan perlu disusun berdasarkan pemikiran sebagai berikut :
1. Tingkat kebutuhan udang akan pakan relatif selalu berubah (fluktuatif) berdasarkan waktu;
2. Nafsu makan udang relatif berbeda antara pagi, siang, sore dan malam;
3. Menghindari adanya over feeding, karena frekuensi pakan merupakan program harian, sehingga pemberian pakan dapat menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan udang; efektifitas dan efisiensi program pakan melalui tolok ukur FCR dapat terkontrol secara harian.
Penyusunan frekuensi pakan merupakan program yang berkesinambungan dalam satu siklus budidaya yaitu dari mulai tebar benur sampai udang dipanen. Dalam menyusun frekuensi pakan diperlukan kecermatan dan kejelian pengamatan terhadap tingkat kebutuhan udang yang sebenarnya pada suatu waktu. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan sebagai variabel antara lain sebagai berikut :
1. Ketersediaan pakan alami pada saat tebar benur. Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, ketersediaan pakan alami di dalam tambak akan menentukan jumlah kebutuhan pakan buatan yang akan diberikan. Sebagai upaya menghindari kekurangan pakan yang disebabkan karena persediaan pakan alami yang telah menipis/habis, maka dalam perlu dilakukan blind feeding yang telah dijelaskan dalam pembahasan program pemberian pakan.
2. Jumlah pakan per hari (P/H), yaitu jumlah total pakan yang diberikan dalam satu hari.
3. Ukuran pakan, yaitu ukuran butiran pakan yang sesuai dengan umur udang di dalam tambak.
4. Waktu pemberian pakan, yaitu alokasi waktu untuk melakukan pemberian pakan dalam satu hari. Alokasi waktu inilah yang disebut sebagai frekuensi pakan.
5. Persen pakan, yaitu menunjukkan berapa persentase pakan yang akan diberikan dalam satu kali pemeberian pakan dibandingkan dengan jumlah total pakan per hari.
6. Persen di ancho. Ancho merupakan salah satu alat yang terbuat dari kain kassa dari nylon strimmin) berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan digunakan sebagai pengontrol program pakan, pertumbuhan serta kualitas udang secara harian/insidental. Persen di ancho, menunjukkan berapa persentase jumlah pakan yang diletakkan di ancho dibandingkan dengan jumlah total pakan yang diberikan pada satu waktu di dala satu petakan tambak.Variabel ini digunakan sebagai tolok ukur habis tidaknya pakan yang telah diberikan pada saat itu.
7. Waktu pengontrolan pakan di ancho. Variabel ini merupakan batasan waktu yang dijadikan standar dalam pengambilan keputusan habis tidaknya pakan yang telah diberikan.
Program pakan pada dasarnya suatu metode/cara pemberian pakan udang dalam satu siklus budidaya. Program ini ikut menentukan tingkat keberhasilan suatu sistem budidaya udang secara menyeluruh terutama keterkaitannya dengan tingkat biaya produksi yang yang telah dikeluarkan, sehingga dalam penyusunannya perlu kecermatan dan ketepatan dalam dalam menentukan tingkat kebutuhan udang terhadap pakan. Beberapa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan program pakan telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, tapi secara garis besar meliputi : jenis pakan, ukuran pakan, jumlah pakan dan frekuensi pemberian pakan.
Salah satu tolok ukur yang digunakan dalam tingkat efektifitas dan efisiensi program pakan adalah Food Conversion Ratio (FCR), yaitu perbandingan jumlah pakan kumulatif yang telah diberikan dengan biomass udang yang dihasilkan pada waktu tertentu. Sebagai contoh : pada suatu petakan tambak telah dipanen udang dengan biomass 1 (satu) ton, sementara jumlah total pakan yang telah diberikan mencapai 2 (dua) ton, maka nilai FCR = 2.
Standar nilai FCR yang banyak digunakan dalam menentukan tingkat efektifitas dan efisiensi program pakan dalam budidaya udang skala intensif adalah berkisar 1.8 - 2.5. Dengan mengetahui nilai FCR maka dapat diestimasikan berapa cost (biaya) yang telah dikeluarkan untuk pakan udang dan berapa nilai jual udang pada saat itu. Perkembangan nilai FCR tersebut perlu dimonitoring pada setiap dilakukan sampling populasi dan biomass secara periodik dalam satu siklus budidaya. Salah satu ilustrasi program pakan dapat dilihat pada
Sebagai upaya lebih mudah memahami ilustrasi di atas maka berikut akan dijelaskan beberapa istilah yang ada dalam ilustrasi tersebut, yaitu :
1. PL = Post Larva, merupakan istilah untuk menunjukkan umur udang yang biasanya dalam satuan hari. Variabel ini sangat penting karena tingkat kebutuhan udang terhadap pakan selalu berubah berdasarkan pertambahan umur.
2. ABW = Average Body Weight, istilah ini menunjukkan berat rata-rata udang dalam satu petakan tambak pada satu periode tertentu. Variabel diperoleh melalui kegiatan sampling biomass secara periodik.
3. SR = Survival Rate, istilah ini menunjukkan tingkat kehidupan udang dalam satu petakan tambak pada satu periode tertentu dibandingkan dengan padat penebaran pada saat tebar benur. Variabel diperoleh melalui kegiatan sampling populasi secara periodik.
4. Crumble, istilah ini menunjukkan jenis pakan buatan yang berukuran serbuk/butiran halus.
5. Pellet, istilah ini menunjukkan jenis pakan buatan yang berukuran butiran dengan ukuran kecil, sedang dan besar.
6. Nomor Pakan (dengan pengkodean tertentu), istilah ini menunjukkan ukuran butiran pakan udang. Nomor pakan ini dapat berbeda antar produsen/pabrik pakan.
7. Blind Feeding, istilah ini menunjukkan kegiatan pemberian pakan dengan tidak memperhatikan program pakan dan penerapannya tergantung ketersediaan pakan alami di dalam tambak dan biasanya dilakukan pada udang usia benur. Blind Feeding juga digunakan sebagai upaya “memperkenalkan” benur pada pakan buatan dan mengantisipasi berkurangnya/habisnya pakan alami didalam tambak.
Berdasarkan ilustrasi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu program pakan dalam satu siklus budidaya merupakan program yang terukur dan terarah dengan tetap mengacu pada tingkat kebutuhan dan kondisi udang pada saat itu. Terukur, berarti setiap kegiatan pemberian pakan udang selalu memiliki nilai kuantitas yang telah ditentukan berdasarkan pengamatan dan estimasi.Terarah, berarti setiap kegiatan pemberian pakan udang memiliki tolok ukur efektifitas dan efisiensi yaitu Food Conversion Ratio (FCR).
IV. Perkembangan Tambak di Indonesia
Dengan panjang garis pantai 81.000 Km² maka tidaklah menjadi sesuatu yang luar biasa jika 80% penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Namun, hal ini menjadi sangat luar biasa jika garis pantai yang tercatat terpanjang nomor dua di dunia tersebut ternyata menjadi tempat berbagai praktek kejahatan lingkungan (environmental crimes), satu di antaranya adalah industri pertambakan (industrial aquaculture).
Dari data yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP), setidaknya sampai tahun 2005 saja diprediksi luas tambak Indonesia hampir mencapai 800,000 hektar, dengan rata-rata kenaikan jumlah luasan setiap tahunnya berkisar 14%. Dalam prakteknya, industri pertambakan atau yang lebih dikenal degan tambak intensif mulai eksis di Indonesia pada tahun 1985. Pola pertambakan intensif dimasa itu menjadi sangat populer karena dapat menghasilkan keuntungan mencapai 4 kali lebih besar dalam sekali memanen, dibandingkan dengan memanen padi di sawah. Untuk memenuhi hasrat memperluas industri ini, degradasi hutan bakau (mangrove) tidak dapat dihindari. Setiap tahunnya kita kehilangan hingga 2% dari total keseluruhan hutan mangrove yang ada. Bahkan, memasuki tahun 2000 hutan mangrove di pesisir pantai Indonesia tidak lebih dari 2 juta hektar saja.
Sumber :
www.ikanmania.wordpress.com
www.iptek.net.id
www.kompas-cetak.htm
www.marindro.htm
www.unila.ac.id

0 komentar: